Katanya Surplus, Mengapa Harus Impor ?

Dua pekan terakhir Kementerian Pertanian (Kementan) disorot habis-habisan gara-gara keputusan impor jagung sebanyak 100 ribu ton. Impor jagung ini juga memicu polemik di ranah publik.

Importasi jagung menjadi polemik karena sudah menjadi rahasia umum bila Kementan sendiri kerap menyampaikan ke publik, bahwa produksi jagung nasional tahun ini mengalami surplus.

Prediksi surplus itu didasarkan pada produksi jagung tahun ini yang diprediksi mencapai 30 juta ton pipilan kering (PK) seiring luas panen per tahun yang mengalami kenaikan 11,06 persen plus produktivitas rata-rata yang meningkat 1,42 persen sesuai data BPS.

Sementara berdasarkan data Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementan, kebutuhan jagung tahun ini diperkirakan sebesar 15, 5 juta ton PK, yang terdiri dari pakan ternak 7,76 juta ton PK, peternak mandiri 2,52 juta ton PK, untuk benih 120.000 ton PK, dan industri pangan sebanyak 4,76juta ton PK.

Dengan data tersebut, Kementan pun memprediksi akhir tahun ini bakal surplus jagung 12,98 juta ton. Namun nayatanya, Kementan sendiri pula yang mengusulkan impor jagung.

Wajar, bila publik pun bertanya, jika surplus lalu mengapa harus impor ?

Polemik impor jagung tak berhenti sampai disitu. Di beberapa daerah saat ini panen jagung juga sedang berlangsung. Itupun juga mengacu data Kementan, bahwa panen jagung seluas 5.000 hektare (ha) di Kabupaten Tuban, Lamongan, Lumajang, Jember, Kediri, Mojokerto, dan Pasuruan.

Kabupaten Jember merupakan penyumbang penyumbang panen jagung terbesar seluas 2.901 hektar. Disusul kabupaten Pasuruan seluas 1.496 hektar. Produktivitas lahan yang dipanen rata-rata 7-10 ton per hektar.

Berdasarkan data tersebut, lagi-lagi pertanyaannya, masihkah impor jagung diperlukan ?

Namun, Kementan berdalih impor jagung dilakukan untuk menstabilkan harga. Karena menurut data Kementan harga jagung PK di tingkat petani Jawa Timur sekarang ini rata-rata berkisar antara Rp 5.100-Rp 5.200 per kilogram dari sebelumnya Rp 4.000 per kilogram.

Malah data Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar), harga jagung saat ini berada di kisaran Rp 5.700-Rp 5.800 per kilogram dan bahkan diprediksi jelang akhir tahun nanti harganya bisa melonjak Rp 6.000 per kilogram karena stok yang menipis.

Lalu, panen jagung yang sedang berlangsung sekarang, belum tentu hasilnya bisa memenuhi kebutuhan peternak. Kementan juga berdalih jagung yang diimpor adalah untuk peternak bukan untuk konsumsi masyarakat. Oleh sebab itu begitu jagung impor nanti sampai akan digelontorkan ke peternak di beberapa daerah yang membutuhkan.

Kementan sudah mendata puluhan peternak yang akan menyerap jagung impor. Mereka tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yakni di Malang, Blitar, Kendal, Solo dan Subang. Daftar para peternak telah diserahkan Kementan ke Perum Bulog. Jadi, setelah jagung impor tiba Bulog langsung mendistribusikan ke para peternak.

Menteri Pertanian, Amran Sulaiman juga menyampaikan jagung yang diimpor itu nantinya akan masuk gudang Bulog dan tidak akan dikeluarkan jika harga jagung di pasar sudah turun. Dan impor jagung sebanyak 50.000 atau 100.000 impor terbilang kecil. Artinya, masih terjadi surplus.

Apapun dalih yang dikemukakan, keputusan importasi jagung sudah diambil dalam rapat koordinasi terbatas (Ratas) pada Kamis (8/11) di Jakarta, yang dihadiri Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian, Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Perum Bulog. Jagung yang diimpor untuk pakan ternak bukan konsumsi masyarakat.

Kementerian Perindustrian (Kemendag) juga sudah menerbitkan surat Persetujuan Impor (PI) jagung pada 16 November 2018. Jagung yang diimpor sebanyak 100 ribu ton. Impor jagung berasal dari Argentina dan Brasil, dan diperkirakan pengirimannya memakan waktu hingga 40 hari perjalanan menuju Indonesia. Adapun pengirimannya akan dilakukan secara bertahap, yang pertama sebanyak 70 ribu ton dan berikutnya 30 ribu ton.

Surat izin impor telah disampaikan Menteri Perdagangan kepada Menteri BUMN Rini Soemarno karena pelaksana impor adalah perusahaan pelat merah, yaitu Perum Badan Urusan Logistik (Bulog). Jagung impor itu akan dijual oleh Bulog ke peternak mandiri dengan harga Rp 4.000 per kilogram.

Kini, yang terpenting bagaimana impor jagung sebanyak 100 ribu ton dari Brazil dan Argentina itu berjalan sesuai maksud dan tujuan sebagaimana disampaikan pada ratat Menko, yakni semata untuk memenuhi kebutuhan perternak mandiri bukan untuk konsumsi masyarakat dan sekaligus menstabilkan harga jagung. Kita percaya komitmen itu pula yang bisa menepis kekhawatiran publik termasuk para petani jagung agar kebijakan impor jagung itu tidak berpengaruh pada jatuhnya harga jagung lokal saat panen raya nanti dan berpotensi melemahkan semangat mereka yang sekarang getol berswasembada jagung. Disisi lain, ada pelajaran berharga yang bisa dipetik dari impor jagung ini, bahwa kita memang masih perlu menggenjot semangat kita untuk meningkatkan budidaya jagung sehinga kita benar-benar swasembada jagung, bukan hanya diatas kertas.