AgribisnisIndeksRagam

Research Tourism, Menyulap Laboratorium Agraris Jadi Destinasi Wisata Ilmiah

×

Research Tourism, Menyulap Laboratorium Agraris Jadi Destinasi Wisata Ilmiah

Sebarkan artikel ini

Oleh: Okta Prima Indahsari
Peneliti PTPN I

 

Bisnisjatim.id, Jember – Siapa sangka, di balik hijaunya kebun teh, teriknya ladang tebu dan sunyinya hutan karet tersimpan potensi wisata yang tak banyak dilirik, Research Tourism. Gagasan ini bukan sekadar angan-angan, tapi peluang besar yang bisa menjadikan Indonesia lebih dari sekadar negara agraris. Ia bisa menjadi pusat rujukan ilmu pengetahuan dunia.

Sebagai negara yang membentang dari Sabang sampai Merauke, Indonesia memang telah lama disebut sebagai surga plasma nutfah. Kekayaan hayati dari sektor pertanian dan perkebunan kita bukan hanya soal banyaknya jenis tanaman yang tumbuh, tapi juga keberagaman genetik yang tersimpan di dalamnya. Mulai dari tembakau, kopi, kelapa sawit, hingga rempah dan tanaman obat, semuanya tumbuh subur karena sinar matahari yang tak pernah absen sepanjang tahun.

Plasma Nutfah yang Terabaikan

Sayangnya, kekayaan ini selama ini lebih sering dilihat sebagai komoditas ekspor daripada sebagai aset edukatif. Padahal, banyak dari kita bahkan belum tahu kalau Indonesia punya puluhan pusat penelitian agrikultur. Sebut saja Pusat Penelitian Tembakau Jember dan Klaten, Pusat Penelitian Gula Jengkol, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (PPKI), Pusat Penelitian Karet, Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK), Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), dan sejumlah balai penelitian dan pengembangan yang tersebar di seantero negeri. Di tempat-tempat inilah, plasma nutfah dipelihara, diuji, dikembangkan, bahkan dilestarikan dari generasi ke generasi.

Tapi, mengapa tempat-tempat ini hanya dinikmati oleh para peneliti saja?

Mengubah Mindset: Wisata Itu Tak Harus Pantai

Gagasan tentang research tourism membuka mata bahwa wisata tak melulu soal laut biru dan pasir putih. Wisata bisa jadi sarana belajar, eksplorasi, bahkan kontribusi terhadap sains. Dalam konsep research tourism, wisatawan bukan cuma datang untuk berswafoto, tapi untuk berkontribusi aktif meneliti, mengamati dan memahami kekayaan hayati yang ada di hadapannya.

Konsep ini bahkan lebih kaya dibanding sekadar eduwisata atau agrowisata. Di sinilah wisatawan bisa tinggal dalam waktu lama, menggali data, terlibat dalam eksperimen, bahkan menulis publikasi ilmiah. Di kebun karet, misalnya, pengunjung bisa belajar soal klon unggul, variasi morfologi, dan proses pengolahan dari hulu ke hilir. Di kebun kopi, mereka bisa mengkaji pengaruh ketinggian terhadap rasa. Semuanya dalam suasana fun dan inklusif.

Multiplier Effect yang Tak Main-Main

Apa untungnya bagi korporasi atau pemerintah daerah? Banyak.

Pertama, corporate branding. Alih-alih hanya dikenal sebagai pabrik penghasil gula atau sawit, perusahaan bisa membangun citra sebagai pelopor sains dan pelestarian plasma nutfah. Kedua, profit. Research tourism adalah sumber pendapatan baru dari tiket masuk, penginapan, kuliner, hingga penjualan cinderamata khas plasma nutfah.

Ketiga, ekonomi kerakyatan. Warga sekitar bisa dilibatkan sebagai pemandu, penyedia konsumsi, hingga pengelola homestay. Artinya, ada redistribusi ekonomi yang lebih merata. Keempat, publikasi ilmiah. Hasil riset pengunjung bisa menjadi bagian dari jurnal nasional maupun internasional. Nama entitas akan terus tercatat dalam sejarah ilmu pengetahuan.

Dan yang paling menarik, research tourism bisa menjadikan Indonesia sebagai rujukan ilmuwan dunia. Bayangkan bila kampus-kampus global mengirim mahasiswa S2 dan S3 mereka untuk riset di kebun plasma nutfah Indonesia. Kita bukan hanya objek penelitian, tapi rumah bagi para peneliti global.

Saatnya Berbenah dan Bertindak

Namun untuk menuju ke sana, kita butuh lebih dari sekadar ide cemerlang. Infrastruktur, digitalisasi, hospitality dan kurasi konten menjadi syarat utama. Fasilitas harus nyaman, pelayanan harus profesional, dan narasi yang dibangun harus menginspirasi. Kombinasi antara modernitas dan nuansa alam bisa menjadi daya tarik tersendiri.

Konsep ini tidak perlu menggantikan pariwisata yang sudah ada. Ia bisa diintegrasikan sebagai lapisan baru dari agrowisata, sebagai bagian dari destinasi edukatif, atau bahkan jadi tema khusus dalam rangkaian perjalanan panjang seorang wisatawan ilmiah.

Kita tidak kekurangan lahan, tidak kekurangan objek, tidak kekurangan ide. Yang kita butuhkan adalah keberanian untuk melangkah mengemas ilmu dalam bentuk wisata, menyambut peneliti sebagai tamu, dan menyulap kebun sebagai laboratorium yang hidup.

Research tourism adalah masa depan yang tak boleh terlewatkan. Bila dikelola dengan baik, bukan mustahil Indonesia menjadi lab dunia yang terbuka bagi siapa saja. Dan siapa tahu, dari balik daun kopi atau pohon kina di dataran tinggi Nusantara, lahir temuan yang menyelamatkan dunia.

Semoga…