SURABAYA – Sekitar 1.000 pelinting Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang seluruhnya ibu-ibu di Surabaya melakukan aksi sosial di sekitar Monumen Kapal Selam di Jalan Pemuda, Surabaya, Selasa (24/9/2019). Aksi sosial berupa kegiatan membagikan tanaman dan ecobag kepada masyarakat Surabaya ini didorong oleh dampak terus menurunnya preferensi perokok dewasa terhadap keseluruhan segmen SKT di Indonesia.
Seorang pekerja linting, Siti Zulaikah, 41 tahun, mengatakan, pengalihan kegiatan produksi menjadi aksi sosial seperti ini bukanlah yang pertama kalinya. Sebelumnya, pada awal bulan September ini, kegiatan produksi rokok SKT di Surabaya, dan kota-kota lainnya di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Barat pun sempat dialihkan beberapa hari menjadi aktivitas lain seperti pelatihan Kesehatan dan Keselamatan Kerja.
Ibu beranak tiga ini mengaku bahwa dirinya dan rekan-rekan sesama pelinting SKT khawatir jika pengalihan produksi seperti awal September akan terjadi lagi. Ia mengatakan, perekonomian keluarga terancam terganggu jika pabrik tempatnya bekerja terus-terusan menghentikan aktivitas produksinya.
“Pabrik tempat kami bekerja adalah sawah dan ladang kami. Kalau terus-menerus berhenti beroperasi, bagaimana nasib kami?” ujar Zulaikah, yang telah bekerja selama 20 tahun.
Penurunan segmen SKT tak terelakkan. Namun, hal ini diperparah oleh persaingan rokok SKT dengan rokok mesin yang murah. Di pasar, banyak rokok mesin yang lebih murah ketimbang rokok SKT.
Suriati, 47 tahun, perwakilan SKT di Surabaya, berharap pemerintah menaruh perhatian terhadap nasib ratusan ribu buruh linting, yang mayoritas berlatar belakang pendidikan sekolah dasar. Jika di-PHK, lanjutnya, mereka tidak mudah mendapatkan pekerjaan lainnya. Terlebih, pekerjaan yang menghasilkan upah layak seperti di sektor SKT.
“Kami mohon kepada pemerintah memperjuangkan nasib kami para pelinting SKT,” kata Suriati.
Suriati, yang telah bekerja selama 22 tahun pun berharap pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan yang membuat harga rokok mesin jauh lebih mahal ketimbang SKT. Salah satunya adalah dengan memperlebar jarak besaran tarif cukai SKT dengan rokok mesin SKM atau SPM.
“Jika cukai rokok mesin naik Rp 100, maka cukai rokok SKT maksimal naik Rp 25. Syukur-syukur tidak naik,” katanya.
Sebelumnya, asosiasi pabrikan rokok kecil juga menyuarakan kekhawatiran terkait kebijakan cukai yang tidak pro kepada rakyat kecil.
Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia (Formasi) misalnya, meminta pemerintah mempercepat penggabungan batasan produksi sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM). Ketua Harian Formasi Heri Susanto mengatakan, struktur tarif cukai hasil tembakau, khususnya untuk SKM dan SPM, masih memiliki celah yang dimanfaatkan beberapa pabrikan besar asing untuk melakukan penghindaran pajak.
Siasat yang digunakan adalah membatasi volume produksi mereka agar tetap di bawah golongan 1, yakni tiga miliar batang, sehingga terhindar dari kewajiban membayar tarif cukai tertinggi. Padahal tarif cukai golongan 2 SPM dan SKM lebih murah sekitar 50-60% dibandingkan golongan 1.
Ia mengatakan, penggabungan batasan produksi rokok mesin ini akan mendorong penerimaan negara yang lebih besar.
“Harapan kami, ekonomi terus tumbuh, khususnya penerimaan negara di bidang industri hasil tembakau meningkat, tanpa mengorbankan pabrikan kecil dan penyerapan tenaga kerja tetap berlangsung,” ujarnya. (pur/bj)