IndeksUmumUncategorized

Ombudsman Jatim Minta Polda Transparan Soal Data Penangkapan Aksi Unjuk Rasa

470
×

Ombudsman Jatim Minta Polda Transparan Soal Data Penangkapan Aksi Unjuk Rasa

Sebarkan artikel ini

BISNISJATIM.ID – Ombudsman RI Jawa Timur mendesak Polda dan jajarannya untuk transparan dan membuka data terkait penegakan hukum dalam kasus unjuk rasa anarkis yang terjadi pada 30-31 Agustus 2025. Sejak kejadian itu, polisi telah menangkap sejumlah orang yang dicurigai terlibat, namun tanpa diikuti dengan publikasi status mereka, apakah sebagai tersangka atau saksi.

Kepala Perwakilan Ombudsman RI Jawa Timur, Agus Muttaqin, mengungkapkan kekhawatirannya akan potensi maladministrasi. “Polda dan Polres seharusnya transparan dengan membuka data siapa saja yang ditangkap. Kami tentu tidak ingin ada maladministrasi berupa penyalahgunaan wewenang dalam penegakan hukum kasus unjuk rasa anarkis,” tegas Agus pada Jumat (12/9).

Kerugian Aset dan Temuan dari Lembaga Bantuan Hukum
Sejak Senin (8/9) hingga Kamis (11/9), Ombudsman Jatim telah mengumpulkan data pengawasan. Berdasarkan informasi dari Polda, seorang personel Polrestabes Surabaya mengalami luka dan masih dirawat. Sementara itu, sejumlah aset polisi rusak, di antaranya 1 mapolsek dan 14 pos polisi dibakar di Surabaya. Di Kediri, kantor Samsat dan 2 pos polisi luluh lantak dibakar, di Malang 3 pos polisi dirusak, dan di Sidoarjo 1 pos polisi dibakar.

Ombudsman juga berkoordinasi dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, yang aktif mengadvokasi para tersangka. Dari posko pengaduan LBH, dilaporkan banyaknya penangkapan terhadap orang-orang yang dicurigai terlibat. Data LBH mencatat, hingga saat ini, ada total 54 orang yang ditahan, di antaranya enam di Polda, 33 di Polrestabes Surabaya, 12 di Polres Blitar Kota, 1 di Polres Kediri Kota, 1 di Polres Jember, dan 1 di Polres Tulungagung. Sebagian dari mereka adalah anak-anak berstatus pelajar.

“Data itu dinamis, artinya ada peluang akan bertambah,” kata Agus. Ia menambahkan bahwa di Jember, ada laporan tujuh orang lagi ditangkap, termasuk dua anak-anak. Mirisnya, sebagian dari mereka ditangkap tanpa surat penangkapan dan diperiksa tanpa didampingi penasihat hukum.

Potensi Maladministrasi dan Pentingnya Transparansi
Agus menyoroti beberapa dugaan penyimpangan prosedur yang berpotensi menjadi maladministrasi, seperti penahanan melebihi 1×24 jam, penangkapan tanpa surat perintah, pembatasan akses informasi, pemeriksaan tanpa pendampingan, hingga penyitaan barang tanpa prosedur. Salah satunya adalah penyitaan ponsel para terduga, bahkan ada sekitar 20 orang yang sudah dilepas di Surabaya namun ponsel mereka masih disita.

“Sikap polisi yang enggan mempublikasi data penangkapan itu membuka peluang terjadinya maladministrasi,” tegas Agus, seraya meminta Polda membuka hotline pengaduan agar masyarakat yang merasa diperlakukan sewenang-wenang bisa melapor.

Menanggapi hal ini, Komisioner Komisi Informasi (KI) Provinsi Jawa Timur, M. Sholahuddin, menegaskan bahwa transparansi adalah pilar utama demokrasi yang dijamin oleh UUD 1945 dan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

“Publik berhak untuk tahu bagaimana proses penegakan hukum berjalan, apalagi dalam kasus yang menyangkut kerugian publik seperti pembakaran fasilitas umum,” ujar Sholahuddin. Ia mengakui adanya pasal pengecualian di UU KIP yang membolehkan informasi dirahasiakan jika menghambat penyidikan atau melanggar privasi, namun hal itu harus bersifat ketat dan terbatas.

Oleh karena itu, KI Jatim mendorong pihak kepolisian untuk membuka informasi secara bertahap dan memberikan penjelasan yang kuat jika ada identitas yang tidak bisa dipublikasikan. Selain itu, polisi juga wajib memastikan hak keluarga untuk mendapatkan informasi terkait keberadaan dan status hukum anggota keluarga mereka terpenuhi. “Kami akan terus ikut memantau dan mendorong agar proses ini berjalan transparan dan akuntabel demi kepentingan publik,” pungkasnya. (YFZ)